Demi Lokalisasi dan Jurnalisme Sastrawi

Saya mendadak linglung saat berusaha menemukan ampas kenangan, ihwal kapan sejatinya diri ini untuk pertama kalinya menjadi seorang narablog? Ketika menelusuri kembali jejak-jejak digital, kesempatan itu terjadi ketika saya tengah merantau sebagai juru berita di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalteng, sekitar akhir tahun 2011.

Berangkat dari kepentingan publik yang tak mendapat cukup ruang di media mainstream, saya nekat mewujudkan jurnal pribadi yang bisa diakses siapa dan kapan pun. Pada tahun yang sama, Android diketahui baru saja menginvasi Indonesia dan digdaya Blackberry Messenger perlahan mulai sirna.

Selamat Datang di Kabupaten Sukamara

Kompleks perkantoran Pemkab Sukamara | Sukamarakab.go.id

Pada suatu hari yang cerah, saya menerima surat tugas dari markas besar untuk menunaikan misi di Sukamara, kabupaten tetangga. Surat itu mencantumkan biaya transport, akomodasi dan entertain yang saya sanggupi detik itu juga! Karena saya berniat untuk mengenal lebih jauh tentang Kalteng, saya memutuskan untuk berangkat ke Kabupaten Sukamara via darat supaya lebih hemat.

Di Sukamara, saya memperkenalkan diri kepada para juru berita. Saya diterima dengan baik, bahkan diajak makan-makan. Salah satu dari mereka lantas mengajak saya dan rekan-rekan yang lain ke lokalisasi yang disebut Selamat Datang. Di sana, mereka minum-minum dan bernyanyi sembari ditemani tiga perempuan muda. Mengapa namanya Selamat Datang? Karena lokasinya yang dekat dengan gapura selamat datang.

Karena tuntutan profesi, saya tertarik untuk menelisik lebih dalam tentang eksistensi lokalisasi ini. Pasalnya, yang menarik dari lokalisasi Selamat Datang adalah adanya oknum dari PNS, korps bhayangkara dan baju loreng yang kerap tampak hilir mudik di sana. Selain itu, lokasinya hanya selemparan batu dari kompleks kantor pemerintahan.

Maka, mulailah saya bertanya-tanya mulai dari tukang parkir, PSK, pelanggan hingga germo. Saya berlagak polos, supaya mereka tak curiga. Tulisan tidak langsung jadi, tetapi beberapa kali ke lokasi untuk memverifikasi informasi. Sampai akhirnya, tulisan features itu saya kirim ke redaksi via surel.

Keesokan hari, tulisan saya rupanya tidak diterbitkan. Saya pun bertanya alasannya ke redaksi. Mereka bilang, kalau artikel itu akan mempengaruhi proses negoisasi kontrak halaman koran, antara kantor dan Pemkab yang sedang berjalan. Ya sudah. Tidak apa-apa tidak terbit. Namun, artikel itu masih saya simpan dengan baik.

Tepat sebulan di kabupaten bersemboyan Gawi Barinjam (bekerja bersama-sama), kantor memanggil saya untuk kembali ke markas besar. Seluruh wartawan organik ditarik ke kantor pusat karena ada kabar akan terjadi peristiwa besar politik, dalam hal ini pilkada. Berakhirlah sudah masa tugas. Maka pulanglah saya ke kantor Pangkalan Bun.

Dan memang benar, terjadi beberapa rangkaian peristiwa politik pada pertengahan tahun 2011 itu. Konflik itu sendiri merupakan buntut dari sengketa pilkada Kotawaringin Barat sebelumnya. Ujungnya, hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dijebloskan ke penjara, empat tahun kemudian.

Jurnalisme Sastrawi

Buku jurnalisme sastrawi
Buku Jurnalisme Sastrawi | Andreasharsono.net

Hingga suatu hari, saya masih ingat betul pernah melihat sebuah poster besar terpampang di mading kantor. Poster itu berisi woro-woro lomba investigasi jurnalistik yang digelar oleh salah satu perusahaan rokok ternama. Syarat utama dari lomba tersebut adalah disajikan dengan gaya jurnalisme sastrawi serta wajib diterbitkan di media cetak atau media daring.

Jurnalisme sastrawi adalah laporan investigatif jurnalistik yang menggunakan gaya bahasa naratif, seperti novel. Contoh dari jurnalisme sastrawi yang paling populer adalah novel karya Truman Capote bertajuk In Cold Bold (1966). Novel itu mengangkat peristiwa nyata (non-fiksi) tentang pembunuhan massal empat anggota keluarga yang terjadi di Holcomb, Kansas tahun 1959.

Buku In Cold Blood karya Truman Capote | Worthpoint.com

Di Indonesia sendiri, genre jurnalisme sastrawi ini tidak populer. Soalnya, media-media mainstream baik cetak maupun daring, tidak memberi ruang yang cukup bagi juru beritanya untuk mengembangkan diri. Media-media kontemporer cenderung memilih berita straight news alih-alih laporan mendalam.

Oleh sebab itu, Andreas Harsono, wartawan senior, mengumpulkan beberapa tulisan jurnalisme sastrawi terbaik nusantara dalam sebuah buku. Hanya saja, sulit sekali mengunduhnya secara gratis. Ya iyalah, hak intelektual harus dihargai. Tapi, ada beberapa yang terkenal seperti Kegilaan di Simpang Kraft karya Chik Rini yang bisa dibaca penggalannya.

Balik ke lomba. Ketika itu, saya berniat untuk mengungkap praktik pungli di pelabuhan. Soalnya, salah satu faktor yang membuat biaya hidup di Pulau Kalimantan ini tinggi adalah karena pungli. Para pengusaha mengaku membayar jutaan rupiah guna armada mereka bisa keluar dari pelabuhan. Satu lambung kapal roro sendiri bisa mengangkut hingga 20 truk colt diesel. Dalam satu hari, ada tiga sampai empat trip kapal dari Pulau Jawa.

Saya pun mulai bergerilya memantau situasi pelabuhan. Sejumlah narasumber yang bersedia dan tidak bersedia (off the record) namanya dipublikasi sudah tercatat. Foto-foto pemberian uang dari sopir mobil dan sopir truk sudah terdokumentasi dengan baik. Aliran uang plus pengakuan, telah terekam.

Pelabuhan Panglima Utar Kumai, Kabupaten Kobar | Borneonews.co.id

Saya pun mulai menulis laporannya dengan gaya sastrawi. Baru separuh menjelang rampung, redaktur mengatakan kalau tulisan investigasi saya harus diubah menjadi berita langsung (straight news). Perintah pemimpin redaksi, katanya.

Alamak! Berminggu-minggu pekerjaan yang melelahkan hanya jadi straight news? Namun apa boleh buat, perintah atasan harus dieksekusi. Hasilnya, cuma ramai sementara. Tidak meninggalkan bekas yang nyata. Praktik itu berulang kembali. Tapi, beberapa tahun kemudian, ramai gerakan berantas pungli. Sejak itu, pelabuhan bersih dari malpraktik. Katanya.

Setelah itu, saya menyadari kalau tidak semua peristiwa, pengalaman dan pengetahuan, bisa termuat secara utuh di media massa mainstream. Dari sini, saya mulai geregetan sendiri. Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk membuat blog supaya pelbagai informasi dan peristiwa yang patut menjadi perhatian publik, dapat tersiar.

Lahirnya ranggapoetra.wordpress.com

Penulis ranggapoetra.wordpress.com
Penulis yang narsis | Dok. Pribadi

Pada suatu hari yang indah dan santai, entah bagaimana sebab-musababnya, saya tersesat di artikel milik wartawan senior Kafil Yamin yang berjudul Menit-menit yang luput dari catatan sejarah Indonesia. Tulisan jurnalisme sastrawi beliau inilah yang menginspirasi saya untuk membuat tulisan serupa. Betapa tidak, reportase beliau sedemikian detail, dengan olahan kalimat naratif yang efektif.

Saya pun segera bertanya-tanya bagaimana caranya membuat blog? Beberapa kolega sekantor mengusulkan untuk mendaftar di Kompasiana saja. Soalnya, pemilik akun tidak perlu ribet untuk mengatur berbagai pernak-pernik setelan. Tinggal tulis dan publikasi. Karena awam, saya pun mengamini.

Mulailah saya mengintip satu demi satu artikel yang tampil di halaman depan Kompasiana. Saya lantas terpukau dengan hasil karya para penulis di sana. Berbekal ilmu menulis yang masih bondo nekat, saya meyakinkan diri demi bergabung dengan jajaran narablog papan atas.

Tulisan pertama saya yang beredar di jagat maya adalah tentang sepak bola. Tulisan itu pula yang mengantar saya lolos serangkaian tes juru berita. Sejatinya, artikel yang bertajuk Perlukah Pemain Naturalisasi untuk Mengangkat Prestasi Timnas Indonesia? itu saya publikasikan pertama kali di status Facebook. Kemudian, artikel yang sama juga jadi portofolio. Lalu, saya copas mentah-mentah untuk mengetahui bagaimana Kompasiana bekerja.

Layar tangkap Kompasiana | Dok. Pribadi

Dari sejumlah artikel yang saya publikasi di Kompasiana, hasil reportase lokalisasi di Sukamara yang gagal terbit tersebut, menjadi yang paling menyedot atensi. Ketika itu, judulnya masih kaku yaitu Tempat yang Dahulu Berwajah Hutan, Kini Bersolek Menjadi Lokalisasi. Tapi, tulisan ini jadi tajuk utama Kompasiana. Beberapa kawan wartawan Sukamara lantas menghubungi. Mereka mengatakan kalau tulisan itu membuat pemkab kasak-kusuk.

Karena kesibukan dan tak puas menumpang platform, saya baru nekat membuat blog pribadi, dua tahun kemudian! Blog itu saya beri nama ranggapoetra.wordpress.com. Sebagian tulisan features yang dimuat di media tempat diri ini bekerja, saya publikasikan pula, termasuk lokalisasi di Kabupaten Sukamara. Kali ini, saya mengubah judulnya jadi Selamat Datang di Kabupaten Sukamara.

Setahun kemudian, tepatnya pada bulan Juni 2014, tersiar kabar kalau Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menutup lokalisasi Dolly yang konon katanya, terbesar di Asia Tenggara. Hal itu membuat panik pemkab se-Indonesia raya. Betapa tidak? Penutupan itu dikhawatirkan akan menciptakan eksodus PSK dari Dolly ke berbagai penjuru lokalisasi di nusantara, tak terkecuali di Kalimantan Tengah.

Karena berita penutupan Dolly itu viral, maka tulisan lokalisasi Selamat Datang di Kabupaten Sukamara itu, saya bagikan dengan lebih masif. Pada suatu hari di bulan Desember pada tahun yang sama, lokalisasi Selamat Datang resmi ditutup oleh Pemkab Sukamara.

turus lumbung desa transmigrasi kumai seberang
Turus lumbung di desa transmigrasi Kumai Seberang | Dok. Pribadi

Satu lagi artikel saya yang tidak dipublikasi secara utuh di media mainstream adalah Sang Pengrajin, Judi dan Filosofi Wayang. Jadi, tulisan itu tidak cukup untuk menggambarkan sejarah, konflik dan prestasi dari sebuah desa transmigrasi.

Kecewa, aku publikasikanlah di blog dan membagikannya. Hasilnya, sosok sentral dalam tulisan itu didapuk menjadi pematung yang hasil karyanya akan dihadiahkan kepada Menakertrans RI yang ketika itu masih dijabat oleh Muhaimin Iskandar.

Katalis perubahan

Seperti yang sudah jamak diketahui, media mainstream menguasi distribusi informasi. Mereka, khususnya yang daring, mampu menggiring opini publik dengan bombardir berita tertentu dengan menambah maupun mengurangi informasi yang bisa mengaburkan fakta. Tapi, sejatinya mereka bekerja di wilayah yang sama dengan para narablog yaitu gelombang udara.

Bagi saya, kekuatan blog itu sama besarnya dengan media mainstream maupun media sosial, kalau dikelola dengan baik. Soalnya, gawai dan jaringan internet di era digital merupakan kombinasi maut yang memungkinkan publik berbagi informasi yang lebih cepat dan masif, bahkan lebih lincah dari media mainstream.

Kerena kekuatan blog pada era digital ini semakin digdaya, pada tahun 2019 ini saya bertekad meningkatkan berita-berita citizen journalist yang tidak tertampung di media massa mayor. Sebetulnya, saya sudah punya konsep blog untuk dibangun. Hanya saja, saya masih belum punya cukup modal untuk membeli domain website sendiri. Semoga kalau artikel ini menang, bolehlah hadiahnya saya pakai.

Seiring menggelindingnya waktu, negeri ini telah menjelma dari kriya baheula menjadi mutakhir kiwari. Saya sadar diri ini tidak sedang menyadarkan anak-anak beruk, tapi tengah menginsyafkan putra dan putri Adam. Bisa menjadi katalis perubahan, itulah kebanggan saya sebagai narablog pada era digital!

9 komentar pada “Demi Lokalisasi dan Jurnalisme Sastrawi”

  1. Selamat mas Rangga. Ternyata kita pernah berjumpa di Keputih 🙂 Aku juga mengoleksi buku Jurnalisme Sastrawi, rekomendasi dari seorang guru jebolan kelas menulisnya Tempo Institute. Makin produktif dan menebar manfaat blognya ya. Tabik.

  2. Wah. Sungguh saya ternganga membaca tulisan ini. Takjub deh. Penyajian dan pengemasan tulisannya terlihat pro. Isi tulisannya pun menginspirasi. Saya harus belajar banyak ini. Hehe
    Oiya, berhubung menang apakah akan segera bermigrasi ke TLD?
    Salam kenal

  3. Hai Kak,
    Benar sekali tidak semua artikel buatan kita bisa masuk dalam platform media.
    Tapi, blog pribadi bisa menggantikan itu semua dan ternyata hasilnya luar biasa.
    Keren…
    Selamat telah menemukan kebebasan menulis dan mempublikasikan karyanya lewat blog Kak.

Tinggalkan Balasan ke Rangga Putra Batalkan balasan