PAPUA – “Apuse kokon dao… yarabe, soren doreri. Wuf lenso, bani nema, baki pase,” senandung lirih kaka Asho di tengah hutan Nemangkawi. Kaka Asho sendiri adalah laki-laki paruh baya dari timur nusantara. Nyanyian sumbang itu lantas berbuntut cekikik dariku dan kaka Tata. Kitorang bertiga adalah prajurit pengawal ondofolo. Tata sebaya dengan Asho, sementara sa yang paling muda.
“Wee.. Merdu kali ko pu suara, Asho,” cetus Ondofolo Eulay, junjungan kami. “Lebih merdu dari ringkik babi,” tambahnya. Sa dan kaka Tata yang sempat berhenti terkekeh, kali ini berupaya keras menahan gelak supaya tidak pecah.
“Amanai Ondofolo,” sahut Asho tersindir.
Sa sendiri tra tahu pasti berapa usia Ondofolo Eulay. Yang jelas, sudah banyak uban di rambut keritingnya yang mulai rontok. Jambangnya yang putih ikal dibiarkan terurai. Tapi jangan salah, e! Beliau adalah tete yang tangguh.
Lanjutkan membaca “Lestari Alam, Luhur Papua”